Tertutupnya Pintu Harta
Amanah Soekarno
Hasan Kurniawan
foto: cdn.sindonews.net
KISAH ini berawal ketika Belanda mulai menjajah Indonesia. Ketika
itu para raja dan kalangan bangsawan yang pro atau tunduk kepada Belanda lebih
suka menyimpan harta kekayaannya.
Harta yang disimpan para raja itu biasanya dalam bentuk emas batangan, dan tersimpan di bank sentral milik kerajaan Belanda di Hindia Belanda, The Javache Bank (cikal bakal Bank Indonesia).
Namun secara diam-diam, para bankir The Javasche Bank (atas instruksi pemerintahnya) memboyong seluruh emas batangan milik para nasabahnya (para raja-raja dan bangsawan Nusantara) ke negerinya, di Netherlands.
Setelah meletus Perang Dunia II di front Eropa, kala itu wilayah kerajaan Belanda dicaplok pasukan Nazi Jerman, militer Jerman memboyong seluruh harta kekayaan Belanda ke Jerman, termasuk harta simpanan para raja di Nusantara.
Perang Dunia II, front Eropa berakhir dengan kekalahan Jerman di tangan pasukan Sekutu yang dipimpin AS. Oleh pasukan AS segenap harta jarahan Nazi Jerman diangkut ke daratan AS, termasuk harta milik raja-raja dan bangsawan di Nusantara.
Bermodalkan harta tersebut, Amerika kembali membangun The Federal Reserve Bank (FED) yang hampir bangkrut karena dampak Perang Dunia II. Oleh pemerintahnya, The FED ditargetkan menjadi ujung tombak sistem kapitalisme AS.
Belakangan, kabar penjarahan emas batangan oleh pasukan AS untuk modal membangun kembali ekonomi AS yang sempat terpuruk pada Perang Dunia II itu didengar oleh Ir Soekarno yang mengutus Dr Subandrio, Chaerul Saleh dan Yusuf Muda Dalam.
Pihak AS dan beberapa negara sekutu saat itu selalu berdalih Perang Dunia masuk dalam kategori Force Majeur yang artinya tidak ada kewajiban pengembalian harta tersebut oleh pihak pemenang perang.
Namun dengan kekuatan diplomasi Soekarno, akhirnya berhasil meyakinkan para petinggi AS dan Eropa, kalau aset harta kekayaan yang diakuisisi sekutu berasal dari Indonesia, dan milik rakyat Indonesia, sembari menyodorkan fakta-fakta.
Di antara fakta yang paling kuat adalah para ahli waris dari nasabah The Javache Bank selaku pemilik harta tersebut yang masih hidup. Dari situ, maka terbagi harta kekayaan 50%:50% antara RI dan AS-Sekutu.
Maksud dari pembagian itu adalah 50% (52.150 ton emas murni) dijadikan kolateral untuk membangun ekonomi AS, dan beberapa negara eropa yang baru luluh lantak dihajar Nazi Jerman.
Sedangkan 50% lagi dijadikan sebagai kolateral yang membolehkan bagi siapapun dan negara manapun untuk menggunakan harta tersebut dengan sistem sewa (leasing) selama 41 tahun dengan biaya sewa per tahun sebesar 2,5%.
Sewa itu harus dibayarkan kepada Pemerintah RI melalui Soekarno. Keluarnya angka 2,5% dalam perjanjian itu ada yang menduga Soekarno ingin menerapkan aturan zakat dalam Islam, dan dibayarkan ke The FED dan The Bank BIS.
Kalau dihitung sejak 21 November 1965, jatuh tempo pembayaran biaya sewa yang harus dibayarkan kepada RI pada 21 November 2006 sangat besar, sanggup melunasi utang luar negeri, dan membangun seluruh kepulauan Indonesia.
Mengenai keberadaan account The HEF, tidak ada lembaga otoritas keuangan dunia manapun yang dapat mengakses rekening khusus ini, termasuk lembaga pajak. Karena keberadaannya yang sangat rahasia.
Oleh karena itu selain negara-negara di Eropa maupun AS yang memanfaatkan rekening The HEF, banyak taipan kelas dunia maupun penjahat ekonomi kelas paus dan hiu yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus ini agar terhindar dari pajak.
Harta yang disimpan para raja itu biasanya dalam bentuk emas batangan, dan tersimpan di bank sentral milik kerajaan Belanda di Hindia Belanda, The Javache Bank (cikal bakal Bank Indonesia).
Namun secara diam-diam, para bankir The Javasche Bank (atas instruksi pemerintahnya) memboyong seluruh emas batangan milik para nasabahnya (para raja-raja dan bangsawan Nusantara) ke negerinya, di Netherlands.
Setelah meletus Perang Dunia II di front Eropa, kala itu wilayah kerajaan Belanda dicaplok pasukan Nazi Jerman, militer Jerman memboyong seluruh harta kekayaan Belanda ke Jerman, termasuk harta simpanan para raja di Nusantara.
Perang Dunia II, front Eropa berakhir dengan kekalahan Jerman di tangan pasukan Sekutu yang dipimpin AS. Oleh pasukan AS segenap harta jarahan Nazi Jerman diangkut ke daratan AS, termasuk harta milik raja-raja dan bangsawan di Nusantara.
Bermodalkan harta tersebut, Amerika kembali membangun The Federal Reserve Bank (FED) yang hampir bangkrut karena dampak Perang Dunia II. Oleh pemerintahnya, The FED ditargetkan menjadi ujung tombak sistem kapitalisme AS.
Belakangan, kabar penjarahan emas batangan oleh pasukan AS untuk modal membangun kembali ekonomi AS yang sempat terpuruk pada Perang Dunia II itu didengar oleh Ir Soekarno yang mengutus Dr Subandrio, Chaerul Saleh dan Yusuf Muda Dalam.
Pihak AS dan beberapa negara sekutu saat itu selalu berdalih Perang Dunia masuk dalam kategori Force Majeur yang artinya tidak ada kewajiban pengembalian harta tersebut oleh pihak pemenang perang.
Namun dengan kekuatan diplomasi Soekarno, akhirnya berhasil meyakinkan para petinggi AS dan Eropa, kalau aset harta kekayaan yang diakuisisi sekutu berasal dari Indonesia, dan milik rakyat Indonesia, sembari menyodorkan fakta-fakta.
Di antara fakta yang paling kuat adalah para ahli waris dari nasabah The Javache Bank selaku pemilik harta tersebut yang masih hidup. Dari situ, maka terbagi harta kekayaan 50%:50% antara RI dan AS-Sekutu.
Maksud dari pembagian itu adalah 50% (52.150 ton emas murni) dijadikan kolateral untuk membangun ekonomi AS, dan beberapa negara eropa yang baru luluh lantak dihajar Nazi Jerman.
Sedangkan 50% lagi dijadikan sebagai kolateral yang membolehkan bagi siapapun dan negara manapun untuk menggunakan harta tersebut dengan sistem sewa (leasing) selama 41 tahun dengan biaya sewa per tahun sebesar 2,5%.
Sewa itu harus dibayarkan kepada Pemerintah RI melalui Soekarno. Keluarnya angka 2,5% dalam perjanjian itu ada yang menduga Soekarno ingin menerapkan aturan zakat dalam Islam, dan dibayarkan ke The FED dan The Bank BIS.
Kalau dihitung sejak 21 November 1965, jatuh tempo pembayaran biaya sewa yang harus dibayarkan kepada RI pada 21 November 2006 sangat besar, sanggup melunasi utang luar negeri, dan membangun seluruh kepulauan Indonesia.
Mengenai keberadaan account The HEF, tidak ada lembaga otoritas keuangan dunia manapun yang dapat mengakses rekening khusus ini, termasuk lembaga pajak. Karena keberadaannya yang sangat rahasia.
Oleh karena itu selain negara-negara di Eropa maupun AS yang memanfaatkan rekening The HEF, banyak taipan kelas dunia maupun penjahat ekonomi kelas paus dan hiu yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus ini agar terhindar dari pajak.
Tercatat, orang-orang seperti
George Soros, Bill Gate, Donald Trump, Adnan Kasogi, Raja Yordania, Putra
Mahkota Saudi Arabia, bangsawan Turki dan Maroko dikabarkan termasuk
orang-orang yang menitipkan kekayaannya pada rekening tersebut.
Pada masa Pemerintahan Soeharto hingga Megawati, telah diadakan suatu operasi untuk mengembalikan dana tersebut ke Indonesia. Bahkan para bankir hitam kelas dunia, CIA, dan MOSSAD berusaha keras mendapatkan user account dan PIN The HEF.
Namun tidak satu usaha pun yang berhasil menjebol akun itu. Hingga kini, misteri harta amanah Soekarno itu masih belum bisa terpecahkan karena hanya Soekarno seorang yang bisa mencairkan dana itu. Pintu pun tertutup.
Demikian berbagai informasi yang berhasil dihimpun terkait harta amanah Soekarno. Sebenarnya, dana amanah Soekarno atau dana revolusi Indonesia telah lama menjadi sorotan, sejak akhir 1986. Bahkan sempat dinyatakan ditutup.
Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang menjabat saat itu bahkan membenarkan adanya keberadaan dana revolusi ini. Dana itu, katanya dihimpun pada tahun 1964 atas instruksi Presiden Soekarno.
Namun sejak Soekarno lengser, informasi mengenai dana revolusi itu hilang. Baru pada akhir 1986, kasak kusuk tentang dana revolusi kembali menjadi bahan perbincangan masyarakat luas, dan mulai ditelusuri oleh Pemerintah Orde Baru.
Sosok yang ikut membuka wacana adanya dana revolusi ini adalah tokoh Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Dr Suhardiman yang ketika itu menjadi salah satu pimpinan dari Fraksi Karya di DPR.
Sebelum itu, orang dekat Soekarno, Soebandrio disebut-sebut sebagai orang yang bisa mencairkan dana revolusi itu. Lalu dibentuklah tim untuk melacak keberadaan dan kebenaran informasi tersebut oleh Soeharto.
Linda Djalil, mantan wartawan Gatra yang sempat melakukan wawancara dengan Soebandrio di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sempat menulis kembali wawancaranya dalam blog Catatan Linda Djalil. Berikut petikan wawancara Linda:
Bisa Anda jelaskan tentang dana revolusi yang diributkan orang?
Saya gembira diberi kesempatan memberi penjelasan tentang dana revolusi. Hingga kini, orang memberi keterangan mengenai dana itu tanpa pengertian sebenarnya. Pengumpulan dana revolusi diputuskan oleh Presiden Soekarno dan Pemerintahan Djuanda.
Ketika itu keadaan keuangan negara sangat sulit, dan anggaran belanja para menteri sangat terbatas. Jika menteri kehabisan uang maka dibutuhkan tambahan anggaran belanja. Ini makan waktu agak lama, sampai beberapa bulan.
Maka menteri keuangan dipersilakan menyediakan dana revolusi dalam rupiah, dalam jumlah terbatas. Keadaan keuangan negara waktu itu serba sulit, separuh anggaran belanja negara dipakai untuk perjuangan merebut Irian Barat kini Irian Jaya.
Para menteri yang sangat membutuhkan uang mengajukan permintaan kepada menteri keuangan yang meneliti permintaan itu. Jika menteri keuangan setuju, kemudian harus diajukan kepada Djuanda untuk mendapat pengesahannya.
Setelah Bapak Djuanda meninggal, saya dan Chairul Saleh diberi tugas memberi keputusan terakhir tentang permintaan menteri. Ya, kami berdua memberikan persetujuan. Misalnya untuk Menteri Perindustrian Arumnanto. Jumlahnya Rp30 juta, atas rekomendasi menteri keuangan.
Dana Revolusi itu sebenarnya disimpan di mana?
Dana itu dihebohkan disimpan di luar negeri atas nama saya. Sebenarnya tak begitu. Dana revolusi berwujud rupiah dan hanya disimpan di bank dalam negeri, bukan di luar negeri.
Lalu Anda mengetahui adanya Dana Revolusi dari mana?
Semula saya sendiri lupa, tak pernah memikirkan apakah ada uang sebanyak itu, yang disebut dana revolusi itu. Tiba-tiba, kira-kira tahun 1980-an, seorang Malaysia bernama Musa datang ke rumah menemui istri saya Dyan (Sri Kusdyantina).
Saya sendiri sudah hidup di penjara. Musa mengaku baru tahu bahwa saya masih hidup setelah melihat foto kami.
Musa datang mengaku sebagai apa?
Sebagai nasabah Union Bank of Swetzerland. Dia juga mengaku tahu persis bahwa di bank Swiss itu ada deposito atas nama Dr Soebandrio sebanyak USD130 juta. Dia ceritakan kepada Dyan. Tapi saya menganggap keterangan itu bohong dan sensasional.
Pemerintahan Soekarno sama sekali tak mempunyai dana untuk disimpan di Swiss. Saya pesan kepada istri saya untuk menjawab begitu kalau ditemui Musa. Sebab saya yakin, dana revolusi itu tak mungkin ada.
Tapi kok akhirnya Anda percaya?
Begini ya. Namanya orang di dalam bui, tak bisa apa-apa, tak bisa mengecek langsung. Sementara itu, Musa tak putus asa dengan jawaban istri saya. Dia berkali-kali berusaha menemui Dyan. Itu berlangsung selama kira-kira satu tahun.
Bahkan, dia pernah datang membawa seorang Swiss untuk membuktikan bahwa saya masih hidup, dan hukuman saya telah diubah dari vonis mati menjadi hukuman seumur hidup. Musa terus membujuk.
Dia berkata, kalau saya sudah mati, dana itu akan menjadi milik Bank Swiss. Sayang sekali kalau tak segera diambil.
Apa upaya Musa selanjutnya?
Dia mendesak istri saya agar membujuk saya untuk memberikan surat keterangan bahwa deposito yang ada di Swiss memang atas nama saya. Akhirnya saya bersedia memberi surat kuasa kepada Musa.
Isinya minta keterangan tertulis kepada Union Bank of Switzerlan (UBS), apakah benar deposito di bank tersebut memang atas nama saya. Jadi justru saya yang meminta keterangan, bukan saya yang memberi keterangan. Saya juga tak mengatakan ingin menagih. Ha,ha,ha, sampai sekarang keluarga saya belum menerima surat jawaban dari UBS. Jadi saya belum tahu apakah benar di sana ada deposito atas nama saya.
Siapa lagi yang pernah menyebut soal dana revolusi itu kepada Anda?
Harry, keponakan saya dari istri pertama, dan bapaknya Hoepoedio. Mereka mengunjungi saya di penjara dan menganjurkan supaya dana di Swiss itu diambil negara. Katanya, cukup dengan surat kuasa saja kepada Harry untuk mengambil dana itu.
Tapi mengapa Anda diam-diam juga melakukan penyelidikan, tanpa melapor kepada pemerintah?
Saya tidak diam-diam dan tak ada maksud jahat untuk membelakangi pemerintah. Kalau Musa merasa yakin, ya silakan cari. Sebab saya sendiri belum yakin betul dana itu ada. Jadi untuk apa diberitahukan kepada pemerintah, kalau saya sendiri tak yakin. Iya kalau ada. Kalau tidak, kan malu.
Kalau waktu itu memang ada, apakah Anda akan mengambil uang itu untuk pribadi?
Sejak semula saya sudah niat, seandainya uang itu benar ada, akan saya serahkan kepada negara. Saya sadar, itu bukan hak saya. Tak ada uang pribadi saya sebanyak itu di luar negeri. Tak tebersit sedikit pun mengambil uang orang lain.
Saya narapidana yang ingin bertobat dan hanya kepada Allah SWT hidup ini saya pasrahkan.
Tapi nyatanya Anda toh memberi kuasa kepada Musa untuk mencairkan uang USD35 juta?
Itu salah. Bukan USD35 juta, melainkan USD35 ribu. Dan itu bukan uang dana revolusi. Itu uang dari rekening pribadi saya sendiri, uang yang saya miliki di Swiss. Jumlahnya USD35 ribu. Itu kan kecil.
Sengaja saya suruh Musa mengurusnya, sekalian untuk mengetes dia, apa benar dia bisa. Ternyata uang itu pun tak bisa diambil. Sekali lagi, saya tak mengutak-utik dana revolusi. Uang USD35 ribu itu uang saya pribadi.
Kabarnya tanggal 27 Februari 1992 Anda memberi cek senilai USD1 juta kepada Musa untuk dicairkan di UBS. Anda juga meminta Musa untuk mentransfer uang tersebut ke rekening Kusdyantinah di First National City Bank di Jalan Thamrin, Jakarta. Benar begitu?
Itu betul. Tapi cek itu juga tak berhasil dicairkan.
Dalam riuh Dana Revolusi ini muncul nama Nicholas James Constantine? Siapa dia?
Saya menerima surat dari ahli hukum Swiss, ya itulah orangnya. Dia mengatakan, saya punya deposito di UBS sebesar USD 130 juta. Deposito itu bisa diambil melalui sindikat Swiss, yaitu organisasi perbankan di Swiss.
Bantuan sindikat ini harus dibayar dengan imbalan 40% dari jumlah deposito. Syarat lain, saya harus dalam keadaan bebas dan harus datang sendiri ke Union Bank of Switzerland di Jenewa.
Anda bertemu sendiri dengan orang itu? Tidak. Istri saya yang bertemu dengannya. Tapi saya meminta Dyan untuk menghindarinya. Sebab sejak kejadian Musa dulu, saya sudah tak mau lagi mengurus uang yang disebut sebagai dana revolusi itu.
Saya menganjurkan agar istri saya tak lagi menggubris berita sensasional itu. Oleh sebab itu, Constantine berupaya datang terus ke Jalan Imam Bonjol, tapi istri saya tak mau menemuinya.
Bagaimana akhirnya bisa bertemu dengan Constantine?
Istri saya pernah diundang menghadiri acara pengajian di rumah Ibu Nelli Adam Malik. Ya, istri saya datang. Tahu-tahu di sana sudah ada Constantine yang sengaja menunggu. Ibu Nelly sekonyong-konyong mempertemukan istri saya.
Tentu saja istri saya sangat kaget. Di situlah Constantine mulai menjelaskan kembali deposito atas nama saya di Union Bank of Switzerland. Constantine meminta Dyan membujuk saya untuk mencairkannya.
Constantine bilang, sayang sekali kalau deposto itu tak diambil dan akan jatuh ke tangan bank itu. Bahkan Ibu Nelly ikut mempengaruhi. Kepada istri saya, dia berkata, dosa lho kalau uang negara itu didiamkan. Istri saya jadi bingung.
Apakah Constantine minta imbalan?
Tentu saja. Kepada istri saya, dia mengatakan bisa mengurus dana revolusi asalkan diberi 40% dari hasil deposito yang bisa dicairkan.
Tanggal 13 Februari 1986 Anda menulis surat kepada Presiden Soeharto, memberitahukan tentang adanya dana revolusi itu. Artinya Anda mengakui bahwa uang itu ada?
Saya serba salah. Tidak melapor, nanti salah. Diam, salah. Akhirnya saya pikir melapor saja. Saya tulis surat ke Presiden. Dalam surat itu pun saya mengatakan, sebagai warna negara yang setia, saya ingin menyerahkan uang itu kepada pemerintah RI.
Dalam surat kepada Pak Harto, Anda merinci jumlah dana di Union Bank of Switzerland sebesar USD450 juta. Di Barcley Bank Inggris ada emas senilai 125 juta poundsterling. Bukankah itu berarti Anda tahu persis keberadaan dana itu?
Itulah kesalahan saya. Saya dan keluarga saya begitu dipengaruhi orang luar. Dari tak percaya, sampai akhirnya percaya. Mengapa saya menyebut angkanya kepada Pak Harto, itu karena saya bingung.
Banyak orang memberikan data itu berikut menyebutkan tempat penyimpanannya. Mereka juga berkata, kalau saya tak mengaku akan berdosa, yang akibatnya bisa fatal. Saya sebetulnya bukan tak mau mengaku. Tapi saya memang sanksi barang itu ada.
Surat itu Anda tulis sesudah atau sebelum dihubungi oleh Constantine?
Sesudah.
Anda pernah menyebut soal barter kebebasan dengan Dana Revolusi? Sama sekali tidak. Itu fitnah belaka. Sebab sejak semula saya sudah menganggap, uang itu kalau memang ada, bukan milik saya, bukan hak saya.
Anda memakai pengacara Amin Arjoso?
Arjoso semula teman akrab Harry Hupudio–kemenakan saya. Setelah saya ditanya macam-macam tentang dana revolusi, Amin yakin betul uang itu ada. Mereka minta surat kuasa dari saya dan mengatakan sanggup mengambil uang itu asalkan dibayar 40%.
Mereka berjanji, istri saya akan diberi 10% dari deposito itu. Permintaan mereka tak saya layani.
Hubungan Anda dengan Suhardiman?
Ketika saya menjadi Menteri Luar Negeri, dia sering datang ke rumah saya untuk beramah-tamah. Pernah pula dia minta bantuan untuk organisasi buruh SOKSI.
Saya pun membantu. Ketika dana revolusi diramaikan, dia mengatakan agar dana itu segera diambil dan diserahkan kepada pemerintah. Saya tak patut meminta komisi. Rupanya Suhardiman belum tahu, bahwa jauh sebelumnya saya sudah menulis surat kepada Presiden. Baru belakangan dia tahu.
Masih berhubungan dengan Musa ataupun Constantine?
Sama sekali tidak. Dan belum pernah sepotong surat pun yang mereka bawa dari UBS. Sampai sekarang mereka ternyata tak bisa membuktikan bahwa saya memiliki deposito di UBS. Jadi tak benar ada dana revolusi atas nama saya.
Pada masa Pemerintahan Soeharto hingga Megawati, telah diadakan suatu operasi untuk mengembalikan dana tersebut ke Indonesia. Bahkan para bankir hitam kelas dunia, CIA, dan MOSSAD berusaha keras mendapatkan user account dan PIN The HEF.
Namun tidak satu usaha pun yang berhasil menjebol akun itu. Hingga kini, misteri harta amanah Soekarno itu masih belum bisa terpecahkan karena hanya Soekarno seorang yang bisa mencairkan dana itu. Pintu pun tertutup.
Demikian berbagai informasi yang berhasil dihimpun terkait harta amanah Soekarno. Sebenarnya, dana amanah Soekarno atau dana revolusi Indonesia telah lama menjadi sorotan, sejak akhir 1986. Bahkan sempat dinyatakan ditutup.
Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang menjabat saat itu bahkan membenarkan adanya keberadaan dana revolusi ini. Dana itu, katanya dihimpun pada tahun 1964 atas instruksi Presiden Soekarno.
Namun sejak Soekarno lengser, informasi mengenai dana revolusi itu hilang. Baru pada akhir 1986, kasak kusuk tentang dana revolusi kembali menjadi bahan perbincangan masyarakat luas, dan mulai ditelusuri oleh Pemerintah Orde Baru.
Sosok yang ikut membuka wacana adanya dana revolusi ini adalah tokoh Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Dr Suhardiman yang ketika itu menjadi salah satu pimpinan dari Fraksi Karya di DPR.
Sebelum itu, orang dekat Soekarno, Soebandrio disebut-sebut sebagai orang yang bisa mencairkan dana revolusi itu. Lalu dibentuklah tim untuk melacak keberadaan dan kebenaran informasi tersebut oleh Soeharto.
Linda Djalil, mantan wartawan Gatra yang sempat melakukan wawancara dengan Soebandrio di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sempat menulis kembali wawancaranya dalam blog Catatan Linda Djalil. Berikut petikan wawancara Linda:
Bisa Anda jelaskan tentang dana revolusi yang diributkan orang?
Saya gembira diberi kesempatan memberi penjelasan tentang dana revolusi. Hingga kini, orang memberi keterangan mengenai dana itu tanpa pengertian sebenarnya. Pengumpulan dana revolusi diputuskan oleh Presiden Soekarno dan Pemerintahan Djuanda.
Ketika itu keadaan keuangan negara sangat sulit, dan anggaran belanja para menteri sangat terbatas. Jika menteri kehabisan uang maka dibutuhkan tambahan anggaran belanja. Ini makan waktu agak lama, sampai beberapa bulan.
Maka menteri keuangan dipersilakan menyediakan dana revolusi dalam rupiah, dalam jumlah terbatas. Keadaan keuangan negara waktu itu serba sulit, separuh anggaran belanja negara dipakai untuk perjuangan merebut Irian Barat kini Irian Jaya.
Para menteri yang sangat membutuhkan uang mengajukan permintaan kepada menteri keuangan yang meneliti permintaan itu. Jika menteri keuangan setuju, kemudian harus diajukan kepada Djuanda untuk mendapat pengesahannya.
Setelah Bapak Djuanda meninggal, saya dan Chairul Saleh diberi tugas memberi keputusan terakhir tentang permintaan menteri. Ya, kami berdua memberikan persetujuan. Misalnya untuk Menteri Perindustrian Arumnanto. Jumlahnya Rp30 juta, atas rekomendasi menteri keuangan.
Dana Revolusi itu sebenarnya disimpan di mana?
Dana itu dihebohkan disimpan di luar negeri atas nama saya. Sebenarnya tak begitu. Dana revolusi berwujud rupiah dan hanya disimpan di bank dalam negeri, bukan di luar negeri.
Lalu Anda mengetahui adanya Dana Revolusi dari mana?
Semula saya sendiri lupa, tak pernah memikirkan apakah ada uang sebanyak itu, yang disebut dana revolusi itu. Tiba-tiba, kira-kira tahun 1980-an, seorang Malaysia bernama Musa datang ke rumah menemui istri saya Dyan (Sri Kusdyantina).
Saya sendiri sudah hidup di penjara. Musa mengaku baru tahu bahwa saya masih hidup setelah melihat foto kami.
Musa datang mengaku sebagai apa?
Sebagai nasabah Union Bank of Swetzerland. Dia juga mengaku tahu persis bahwa di bank Swiss itu ada deposito atas nama Dr Soebandrio sebanyak USD130 juta. Dia ceritakan kepada Dyan. Tapi saya menganggap keterangan itu bohong dan sensasional.
Pemerintahan Soekarno sama sekali tak mempunyai dana untuk disimpan di Swiss. Saya pesan kepada istri saya untuk menjawab begitu kalau ditemui Musa. Sebab saya yakin, dana revolusi itu tak mungkin ada.
Tapi kok akhirnya Anda percaya?
Begini ya. Namanya orang di dalam bui, tak bisa apa-apa, tak bisa mengecek langsung. Sementara itu, Musa tak putus asa dengan jawaban istri saya. Dia berkali-kali berusaha menemui Dyan. Itu berlangsung selama kira-kira satu tahun.
Bahkan, dia pernah datang membawa seorang Swiss untuk membuktikan bahwa saya masih hidup, dan hukuman saya telah diubah dari vonis mati menjadi hukuman seumur hidup. Musa terus membujuk.
Dia berkata, kalau saya sudah mati, dana itu akan menjadi milik Bank Swiss. Sayang sekali kalau tak segera diambil.
Apa upaya Musa selanjutnya?
Dia mendesak istri saya agar membujuk saya untuk memberikan surat keterangan bahwa deposito yang ada di Swiss memang atas nama saya. Akhirnya saya bersedia memberi surat kuasa kepada Musa.
Isinya minta keterangan tertulis kepada Union Bank of Switzerlan (UBS), apakah benar deposito di bank tersebut memang atas nama saya. Jadi justru saya yang meminta keterangan, bukan saya yang memberi keterangan. Saya juga tak mengatakan ingin menagih. Ha,ha,ha, sampai sekarang keluarga saya belum menerima surat jawaban dari UBS. Jadi saya belum tahu apakah benar di sana ada deposito atas nama saya.
Siapa lagi yang pernah menyebut soal dana revolusi itu kepada Anda?
Harry, keponakan saya dari istri pertama, dan bapaknya Hoepoedio. Mereka mengunjungi saya di penjara dan menganjurkan supaya dana di Swiss itu diambil negara. Katanya, cukup dengan surat kuasa saja kepada Harry untuk mengambil dana itu.
Tapi mengapa Anda diam-diam juga melakukan penyelidikan, tanpa melapor kepada pemerintah?
Saya tidak diam-diam dan tak ada maksud jahat untuk membelakangi pemerintah. Kalau Musa merasa yakin, ya silakan cari. Sebab saya sendiri belum yakin betul dana itu ada. Jadi untuk apa diberitahukan kepada pemerintah, kalau saya sendiri tak yakin. Iya kalau ada. Kalau tidak, kan malu.
Kalau waktu itu memang ada, apakah Anda akan mengambil uang itu untuk pribadi?
Sejak semula saya sudah niat, seandainya uang itu benar ada, akan saya serahkan kepada negara. Saya sadar, itu bukan hak saya. Tak ada uang pribadi saya sebanyak itu di luar negeri. Tak tebersit sedikit pun mengambil uang orang lain.
Saya narapidana yang ingin bertobat dan hanya kepada Allah SWT hidup ini saya pasrahkan.
Tapi nyatanya Anda toh memberi kuasa kepada Musa untuk mencairkan uang USD35 juta?
Itu salah. Bukan USD35 juta, melainkan USD35 ribu. Dan itu bukan uang dana revolusi. Itu uang dari rekening pribadi saya sendiri, uang yang saya miliki di Swiss. Jumlahnya USD35 ribu. Itu kan kecil.
Sengaja saya suruh Musa mengurusnya, sekalian untuk mengetes dia, apa benar dia bisa. Ternyata uang itu pun tak bisa diambil. Sekali lagi, saya tak mengutak-utik dana revolusi. Uang USD35 ribu itu uang saya pribadi.
Kabarnya tanggal 27 Februari 1992 Anda memberi cek senilai USD1 juta kepada Musa untuk dicairkan di UBS. Anda juga meminta Musa untuk mentransfer uang tersebut ke rekening Kusdyantinah di First National City Bank di Jalan Thamrin, Jakarta. Benar begitu?
Itu betul. Tapi cek itu juga tak berhasil dicairkan.
Dalam riuh Dana Revolusi ini muncul nama Nicholas James Constantine? Siapa dia?
Saya menerima surat dari ahli hukum Swiss, ya itulah orangnya. Dia mengatakan, saya punya deposito di UBS sebesar USD 130 juta. Deposito itu bisa diambil melalui sindikat Swiss, yaitu organisasi perbankan di Swiss.
Bantuan sindikat ini harus dibayar dengan imbalan 40% dari jumlah deposito. Syarat lain, saya harus dalam keadaan bebas dan harus datang sendiri ke Union Bank of Switzerland di Jenewa.
Anda bertemu sendiri dengan orang itu? Tidak. Istri saya yang bertemu dengannya. Tapi saya meminta Dyan untuk menghindarinya. Sebab sejak kejadian Musa dulu, saya sudah tak mau lagi mengurus uang yang disebut sebagai dana revolusi itu.
Saya menganjurkan agar istri saya tak lagi menggubris berita sensasional itu. Oleh sebab itu, Constantine berupaya datang terus ke Jalan Imam Bonjol, tapi istri saya tak mau menemuinya.
Bagaimana akhirnya bisa bertemu dengan Constantine?
Istri saya pernah diundang menghadiri acara pengajian di rumah Ibu Nelli Adam Malik. Ya, istri saya datang. Tahu-tahu di sana sudah ada Constantine yang sengaja menunggu. Ibu Nelly sekonyong-konyong mempertemukan istri saya.
Tentu saja istri saya sangat kaget. Di situlah Constantine mulai menjelaskan kembali deposito atas nama saya di Union Bank of Switzerland. Constantine meminta Dyan membujuk saya untuk mencairkannya.
Constantine bilang, sayang sekali kalau deposto itu tak diambil dan akan jatuh ke tangan bank itu. Bahkan Ibu Nelly ikut mempengaruhi. Kepada istri saya, dia berkata, dosa lho kalau uang negara itu didiamkan. Istri saya jadi bingung.
Apakah Constantine minta imbalan?
Tentu saja. Kepada istri saya, dia mengatakan bisa mengurus dana revolusi asalkan diberi 40% dari hasil deposito yang bisa dicairkan.
Tanggal 13 Februari 1986 Anda menulis surat kepada Presiden Soeharto, memberitahukan tentang adanya dana revolusi itu. Artinya Anda mengakui bahwa uang itu ada?
Saya serba salah. Tidak melapor, nanti salah. Diam, salah. Akhirnya saya pikir melapor saja. Saya tulis surat ke Presiden. Dalam surat itu pun saya mengatakan, sebagai warna negara yang setia, saya ingin menyerahkan uang itu kepada pemerintah RI.
Dalam surat kepada Pak Harto, Anda merinci jumlah dana di Union Bank of Switzerland sebesar USD450 juta. Di Barcley Bank Inggris ada emas senilai 125 juta poundsterling. Bukankah itu berarti Anda tahu persis keberadaan dana itu?
Itulah kesalahan saya. Saya dan keluarga saya begitu dipengaruhi orang luar. Dari tak percaya, sampai akhirnya percaya. Mengapa saya menyebut angkanya kepada Pak Harto, itu karena saya bingung.
Banyak orang memberikan data itu berikut menyebutkan tempat penyimpanannya. Mereka juga berkata, kalau saya tak mengaku akan berdosa, yang akibatnya bisa fatal. Saya sebetulnya bukan tak mau mengaku. Tapi saya memang sanksi barang itu ada.
Surat itu Anda tulis sesudah atau sebelum dihubungi oleh Constantine?
Sesudah.
Anda pernah menyebut soal barter kebebasan dengan Dana Revolusi? Sama sekali tidak. Itu fitnah belaka. Sebab sejak semula saya sudah menganggap, uang itu kalau memang ada, bukan milik saya, bukan hak saya.
Anda memakai pengacara Amin Arjoso?
Arjoso semula teman akrab Harry Hupudio–kemenakan saya. Setelah saya ditanya macam-macam tentang dana revolusi, Amin yakin betul uang itu ada. Mereka minta surat kuasa dari saya dan mengatakan sanggup mengambil uang itu asalkan dibayar 40%.
Mereka berjanji, istri saya akan diberi 10% dari deposito itu. Permintaan mereka tak saya layani.
Hubungan Anda dengan Suhardiman?
Ketika saya menjadi Menteri Luar Negeri, dia sering datang ke rumah saya untuk beramah-tamah. Pernah pula dia minta bantuan untuk organisasi buruh SOKSI.
Saya pun membantu. Ketika dana revolusi diramaikan, dia mengatakan agar dana itu segera diambil dan diserahkan kepada pemerintah. Saya tak patut meminta komisi. Rupanya Suhardiman belum tahu, bahwa jauh sebelumnya saya sudah menulis surat kepada Presiden. Baru belakangan dia tahu.
Masih berhubungan dengan Musa ataupun Constantine?
Sama sekali tidak. Dan belum pernah sepotong surat pun yang mereka bawa dari UBS. Sampai sekarang mereka ternyata tak bisa membuktikan bahwa saya memiliki deposito di UBS. Jadi tak benar ada dana revolusi atas nama saya.